Rabu, 22 Oktober 2008

Indikasi

INDIKASI MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
dr Bahar Azwar SpB k Onk

Dalam Seminar Sehari: Malapraktik, Dinamika dan Terobosan Solusi, Jakarta 9 Mei 2006

Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran bertanggungjawab atas sulitnya mencari indikasi ketidaklaziman dalam pengobatan. Rekam medik dapat membantu pencariannya ataupun meniadakannya bila dilakukan oleh dokter pembanding.

Sejak Hammurabi 2500 SM dunia telah mencatat adanya sangsi atas malapraktik kedokteran. Hal yang samapun tertulis dalam hukum Islam.
Malapraktik sendiri berasal dari dua kata bahasa Italia, yang berarti jelek dan pekerjaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, cetakan 1, Balai Pustaka, Jakarta, 2001 dari Departemen Pendidikan Nasional (KBBI), menyebut malapraktik kedokteran sebagai “… praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik.” Batasan yang memasukkan aspek legal kedalam ruang etik dikembangkan oleh berbagai media menjadi musibah kedokteran, ataupun medical abuse dengan menambahkan faktor ketidakmampuan pasien, ataupun berbagai batasan sesuai dengan pandangannya masing-masing.
Makalah ini membatasi malapraktik kedokteran sebagai pengobatan substandar yang dilakukan oleh dokter atau profesional kesehatan lainnya yang mana pengobatan itu secara langsung menyebabkan musibah jasmani atau finansial pada pasien. Dan pengobatan substandar itu adalah pengobatan yang melanggar kelaziman praktik kedokteran, atau can be generally defined as substandard treatment by a physician or other healthcare professional that directly results in physical or economic damages to the patient. The substandard care refers to care that violates normal medical practices.
LAPORAN TIGA KASUS
Kasus 1
Di pedalaman Kalimantan, A menjalani operasi darurat pengangkatan usus buntu dengan bius lokal. Sebelumnya, karena pasien batuk, sang bapak minta agar operasi ditunda tapi dokter bersikeras untuk operasi segera. Tiga belas hari kemudian luka terbuka dan dilakukan operasi ulang serta kolostomi. Ternyata pada foto ronsen dada yang dilakukan sesudah operasi, diketahui bahwa korban menderita TBC paru. Dugaan muncul karena musibah yang tidak diharapkan. Bagaimana mungkin operasi usus buntu lukanya terbuka dan harus kolostomi.
Isu pada kasus ini adalah sangsi atas kesalahan dalam melakukan operasi. Kenapa buru-buru padahal pasiennya menderita batuk?
Konsultasi dengan LPHP dilakukan dengan surat.
Membaca rekam medik, penulis yang pernah bertugas 3 tahun di Irian sebagai dokter Puskesmas dan 6 tahun di Aceh sebagai ahli bedah, tidak akan ragu untuk menundanya karena: (1) Tidak terdapat data pemeriksaan klinis yang khas mendukung diagnosa usus buntu akuta; (2) Hasil laboratorium tidak mendukung adanya infeksi; (3) Pasien menderita batuk dan fasilitas bius umum saat itu tidak ada; (4) Ada fasilitas rujukan dengan pesawat ke ibukota propinsi. Dengan kata lain penulis heran atas ketidaklaziman kebijakan tersebut.
Sesudah perut dibuka kebijakan berubah. Laporan operasi menyebutkan adanya perlengketan dan dokter memutuskan untuk melakukan biopsi saja. Prosedur dan tindakan yang dilakukan selanjutnya tercatat serta lazim dalam pandangan penulis. Karena itu usus bocor dan kolostomi, merupakan hasil dari suatu kelaziman pengobatan. Bila dicari, kesalahan dokter ini terletak pada kebijakan pertama yaitu melakukan operasi dalam keadaan darurat.
Semua kesimpulan itu dikirimkan kepada keluarga korban beserta usul untuk berdamai. Pihak korban setuju dan meminta tambahan 2 tiket pesawat untuk membawa korban ke kota propinsi karena dokter ybs hanya menyanggupi 2 tiket pesawat.
Sesudah penulis menelpon dokter ybs, ia ikhlas memenuhi permintaan keluarga yaitu membelikan 4 tiket pesawat bagi pasien beserta 3 orang keluarganya.
Kasus 2
Seorang pasien menjalani operasi pengangkatan tumor rahim (mioma) dengan laparaskopi. Namun bersamaan dengan itu juga dilakukan operasi lain pada ovarium (indung telur). Lima hari sesudah operasi, perut korban menjadi gembung, sakit dan napasnya sesak. Operasi darurat dilakukan dan ternyata ditemukan kebocoran usus. Sesudah mengalami beberapa kali operasi ia pulang dengan kolostomi (buang kotoran melalui perut). Beberapa tahun kemudian ternyata di masih ada kista di rahim
Dugaan muncul karena musibah yang tidak diharapkan. Bagaimana mungkin operasi di rahim berakhir dengan kolostomi.
Kasus ini menarik karena ketidaklaziman pengobatan diperoleh dari film operasi, dimana ditayangkan adanya operasi yang tidak diperjanjikan. Perubahan kebijakan yang jelas itu, tidak dapat diterangkan karena dokter ybs menolak meminjamkan rekam medik. Hal inipun suatu ketidaklaziman karena yang memintanya adalah korban sendiri.
Tanpa rekam medik, sebab musabab kebocoran usus juga tidak jelas selain akibat tindakan yang dilakukan. Film operasi memperlihatkan tindakan penghentian perdarahan di usus besar dengan alat cauter. Dan kebocoran usus sesudah beberapa hari dapat diduga disebabkan oleh perlakuan itu.
Dengan dua indikasi itu LPHP melaporkan kasus ini ke Polisi. Namun dalam proses hukum itu, korban mencabut kuasanya. Sampai saat ini berkas kasus masih mundar-mandir antara Polisi dan Kejaksaan.
Sesudah beberapa tahun korban memperlihatkan foto USG rahim yang memperlihatkan mioma. Tanpa rekam medik hanya ada dua kemungkinan yaitu apakah pengangkatan mioma sebelumnya tidak tuntas ataukah ada pertumbuhan baru.
Kasus 3
Hari pertama, H lahir di suatu rumah sakit dengan operasi sesar. Hari ke 3, ia mencret dan dipindahkan ke rungan khusus untuk pemeriksaan yang lebih intensif tanpa memberitahukan ibunya yang masih dirawat di rumah sakit itu. Hari 4, H masih panas tinggi walaupun infus tetap terpasang. Tidak puas dengan pelayanan, keluarga pasien memutuskan untuk memindahkan H, ke rumah sakit lain. Hari ke 5, sesudah menandatangani surat pulang atas permintaan sendiri, H dipindahkan dengan balutan di lengan bawah. Di hari itu juga, di rumah sakit lainnya itu, di balik balutan itu terdapat luka bakar.
Keluarga H menduga adanya malapraktik karena luka bakar pada lengan bawah yang sewaktu lahir tidak ada. Bagi mereka itu adalah musibah yang tidak diharapkan. Pamannya seorang dokter umum, mengemukakan kemungkinan bahwa luka bakar itu disebabkan oleh sentuhan alat-alat listrik yang banyak ditemukan di ruang intensif. Curiga bertambah karena berdasarkan surat pulang atas permintaan sendiri, pihak rumah sakit menyatakan tidak bertanggungjawab atas luka bakar.
Bingung membawa mereka ke LPHP.
Indikasi malapraktik yang ditemukan adalah dua pelanggaran atas hak pasien yaitu: 1. Tidak memberitahukan ibu korban atas pemindahan H ke ruang intensif atau ketidaklaziman prosedur pemindahan pemindahan pasien ke ruang intensif dan 2. Tidak memberitahukan adanya luka bakar atau ketidaklaziman prosedur pemindahan pasien ke rumah sakit lain atau lalai, tidak mengetahuinya, ketidaklaziman dalam memonitor pasien ruang intensif. Sebaliknya pernyataan tidak bertanggungjawabnya rumahsakit atas luka bakar itu tidak ada hubungannya dengan kebijakan, prosedur ataupun tindakan pengobatan.
Walaupun demikian LPHP mencatat bahwa obat itu sendiri, yang diberikan intravena, mungkin caustic (membakar), sedangkan mencari vena pada bayi baru lahir sangat sulit apalagi mempertahankannya.
Kejujuran adalah kesan pertama dalam pertemuan dengan rumah sakit. Rekam medik dibuka dan ditemukan kelalaian dalam monitoring perawat. Hal itu ditebus pihak rumah sakit dengan menawarkan akan bertanggungjawab sampai luka bakar itu sembuh total. Dan keluarga pasien menerima kesepakatan itu.
Pembicaraan
Lazimnya dokter memulai pengobatan dengan mengambil satu kebijakan (konsep dan asas yang menjadi garis besar dan mendasari rencana pelaksanaan sesuatu, KBBI), seperti merawat pasien di rumah sakit atau merujuk ke dokter lain atau segera memulai suatu pengobatan. Dalam berbagai buku standar prosedur medik, kebijakan disebut sebagai terapi. Ia diambil berdasarkan kecakapan dokter ybs dan fasilitas yang tersedia untuk menyelesaikan tahapan berikutnya. Misalnya, ahli bedah jantung hanya akan mengambil kebijakan untuk melakukan bedah jantung bila fasilitas untuk mengerjakannya tersedia.
Kebijakan diterjemahkan dalam serangkaian prosedur (metode langkah demi langkah untuk menyelesaikan sesuatu, KBBI). Kebijakan rawat dilakukan dengan: 1. Meminta persetujuan pasien; 2. Memasukkannya ke ruang rawat; 3. Pemasangan infus; 4. Pemberian Oksigen dlsb.
Prosedur dilakukan dengan serangkaian tindakan (sesuatu yang dilakukan, KBBI). Prosedur persetujuan pasien dilaksanakan dengan: 1. Memberikan informasi lengkap mengenai manfaat dan mudarat pengobatan yang akan dilakukan; 2. Menjelaskan berbagai opsi lainnya; 3. Pengisian form persetujuan rawat dan atau tindakan medis ; 4. Penandatangannya; dlsb. Prosedur masuk ruang rawat dengan: 1. Persiapan kamar; 2. Persiapan kursi atau tempat tidur roda untuk membawanya ke ruangan; 3. Mendorong pasien; dlsb. Prosedur pemberian Oksigen dengan: 1. Menyiapkan tabung Oksigen; 2. Memasang masker Oksigen; 3. Menyambungkannya ke tabung Oksigen; 4. Mengatur pemberiannya; 5. Pencatatan, dlsb.
Dalam perjalanannya, sejak datang pertama sampai pengobatan selesai, kebijakan – prosedur – tindakan, dapat berubah sesuai dengan keadaan pasien. Lika liku itu dicatat dan dihimpun dalam suatu berkas yang disebut rekam medik (medical record). Ia terdiri atas: 1. Surat Persetujuan Operasi; 2. Keadaan waktu masuk rawat; 3. Tindak lanjut (follow up); 4. Laporan operasi; 5. Hasil pemeriksaan laboratorium, ronsen, dll; 6. Rujukan dari dan ke spesialis lainnya; 7. Catatan keperawatan; 8. Monitoring dll
Kesalahan yang lazim adalah dibuat dalam pencarian indikasi malapraktik kedokteran adalah menahbiskan tindakan sebagai pengobatan. Hal ini tidak mengherankan karena berbeda dengan kebijakan dan prosedur, tindakan adalah nyata. Ia nyata karena memerlukan fasilitas atau alat medis. Yang dituntut dari dokter hanyalah kecakapan menggunakannya, dan bukan pengadaan ataupun pemeliharaannya. Misalnya, kasus RSUD Bengkulu, dimana dua orang meninggal akibat gas racun yang berada dalam tabung gas pembius waktu operasi.
Kadangkala indikasi malapraktik mudah terlihat. Misalnya, seorang ahli bedah pencernaan melakukan pemasangan pen pada seorang patah tulang. Ia menjanjikan bahwa dalam tiga bulan, pasien tersebut sudah bisa bermain bola. Indikasi ini mudah dilihat karena tidaklah lazim ahli bedah pencernaan memasang pen pada tulang. Atau di kota lainnya, potongan jarum ketinggalan dalam perut sewaktu operasi. Indikasi ini juga mudah karena tidak lazim dokter menutup luka operasi tanpa memeriksa apakah ada yang ketinggalan.
Sisanya sukar dikenal karena kelaziman praktik kedokteran selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Cara mudah mencari indikasi adalah menggunakan dokter yang setara, baik dalam disiplin ilmu ataupun pengalaman. Setara saja tidak cukup karena dokter pembanding harus memutusnya dengan mengingat tiga faktor yang berhubungan dengan ilmu dan teknologi yaitu, waktu, situasi dan kondisi.
Salah guna dokter pembanding terbaca pada Suara Pembaruan 9 Desember 2003, yang memuat berita gagal ginjal seorang ibu sesudah pemberian sejenis antibiotika oleh seorang dokter ahli kebidanan. Media ini menggunakan dokter dari Singapura dan Mahaguru Farmakologi sebagai pembanding.
Penelusuran rekam medik untuk mencari indikasi malapraktik kedokteran harus dilakukan dengan hati-hati. Isu mudah ditemukan dalam ketidakcocokan ataupun cacat administrasi. Isu ketidakcocokan antara jenis operasi, spesialis yang mengerjakan atau operasi yang dilakukan, belum tentu menjadi indikasi karena disetiap langkah pengobatan dapat terjadi perubahan kebijakan – prosedur ataupun tindakan. Perubahan itu lazimnya dicatat dalam laporan operasi atau form follow up. Ketidaklazimannya dapat ditentukan oleh dokter pembanding.

2 komentar:

chendi mengatakan...

dok, sebelumnya salam kenal
Membaca postingan dokter yang ini, saya jadi terperangah. Mencermati kasus demi kasus, sebagai masyarakat awam kok saya jadi gregetan.
Sebaiknya apa yang kita lakukan dok ketika kita mengalami indikasi malpraktik seperti itu? Langkah apa yang harus kita lakukan sebagai pasien agar dapat memperkuat dugaan kita..
salam hangat
-chendy-

Dr_Bahar_Azwar SpB k Onk mengatakan...

Chendy yth.
Menurut saya yang pertama kita harus berprasangka baik dengan menanyakan langsung kepada dokter ybs. Bila tidak puas kita dapat berkonsultasi dengan dokter lain yang sama spesialisasinya untuk menanyakan apakah tindakan dokter ybs lazim. Mungkin Chendy belum puas nah silakan tuliskan disini. Mudah-mudahan saya dapat memberi masukan.